POSITIVISME HUKUM


Positivisme merupakan  suatu aliran  filsafat  yang menyatakan  ilmu-ilmu  alam  (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu  filosofis  atau metafisik. Dapat  pula dikatakan  positivisme  ialah  “aliran  yang bependirian bahwa  filsafat  itu hendaknya semata-mata  mengenai  dan  berpangkal pada  peristiwa-peristiwa  positif”. Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan. Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
 Dimaknai sebagai norma-norma positif dalam perundang-undangan, Positivime Hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif ke dalam kasus-kasus konkret, pola Penalaran Positivisme Hukum dapat diformulasikan sbb:
a.       Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) PP No.9/1975, menetapkan struktur aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma-norma itu telah tervalidasi.
b.      Pada suatu ketika terdapat fakta pernikahan antara janda A dan Tuan B dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nilkah bernama C.
Premis Normatif
 Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: (apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu diterapkan 130 hari; (b) Pasal 39 PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Pegwai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan pakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang (pasal 6 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975). Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7500 (Lih. Pasal 45 ayat (1) huruf b PP No. 9 Tahun 1975).
Fakta
Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya pada 1 Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawainan dengan B pada 1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C yang mengawasi dan mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan.
Positivisme Hukum
Ontologis : Hukum= Norma positif dalam sistem perundang-undangan
Epistemologis : Doktrinal – deuktif
Aksiologis : Kepastian
Tokoh : John Austin (1790-1859)

Comments

Popular Posts