SENGKETA PILPRES 2019.


Nama  : Devany Hidayat
NIM    : 11160480000079
Kelas  : Ilmu Hukum / 6 B

UJIAN AKHIR SEMESTER LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM
            Dasar BPN (Badan Pemenangan Nasional) Paslon Nomor 2 (Prabowo-Sandi) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi adalah bahwa BPN menilai dan melihat adanya pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh Paslon Nomor 1 yaitu (Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin). Kelima tuduhan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) itu dilontarkan oleh Bambang Widjayanto (Ketua Tim Hukum BPN) sebagai berikut, penyalahgunaan anggaran belanja dan program kerja pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, ketidaknetralan Aparatur Negara, polisi dan intelejen, pembatasan kebebasan pers dan diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum.
Menurut Bambang Widjayanto, Pemilu 2019 adalah pemilu terburuk yang pernah digelar di Indonesia sejak Era Reformasi, terdapat beberapa indikator yang menyebabkan hal tersebut terjadi misalnya Indikator yang pertama, pemilu ini menimbulkan lebih dari 700 korban jiwa, lalu adanya pelanggaran yang ditemukan seperti penemuan 400 ribu amplop yang disiapkan untuk serangan fajar dalam kasus Bowo Sidik, Indikator yang ketiga menurut beliau adanya indikasi mobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan salah satu paslon, dan ia pun menilai bahwa adanya problem struktural dalam pelaksanan hukum di tingkat bawah, dan yang terakhir adalah terus menerusnya permasalahan yang ada pada DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang bermasalah merupakan sumber penggelembungan suara. Tim BPN menemukan adanya NIK (nomor induk kependudukan) rekayasa, kecamatan siluman, pemilihan ganda, dan pemilih di bawah umur, dan DPT  yang bermasalah itu berdasarkan data kependudukan yang disusun oleh pemerintah.
Berikut Argumentasi KPU.
KPU menyebut, permohonan sengketa pilpres yang diajukan Prabowo-Sandi tidak jelas atau kabur, hal ini tercantum dalam berkas jawaban yang diserahkan KPU ke MK untuk menjawab gugatan Prabowo-Sandi. "Jelas terbukti bahwa permohonan pemohon tidak jelas (obscuur libel), sehingga karenanya menurut hukum permohonan pemohon a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima," demikian dikutip dari berkas permohonan. Gugatan yang tidak jelas itu, misalnya, soal dalil adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang diduga dilakukan oleh pihak terkait dalam hal ini paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf.
Menurut KPU, kubu Prabowo tidak menguraikan secara jelas kapan, di mana, dan bagaimana pelanggaran dilakukan atau siapa melakukan apa, kapan, di mana dan bagaimana cara melakukannya, dalam berkas permohonan, KPU menyebut bahwa semuanya serba tidak jelas, dan menyulitkan pihaknya untuk memberikan tanggapan atas dalil-dalil pemohon a quo dan dalil permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta DPT tak masuk akal juga dinilai KPU kabur.Sebab, pemohon tidak menjelaskan siapa saja mereka, bagaimana faktanya yang dimaksud DPT tidak masuk akal, dari daerah mana saja mereka, dan apakah mereka menggunakan hak pilih di TPS mana saja dan kepada siapa mereka menentukan pilihannya serta kerugian apa yang diderita pemohon.
Soal tudingan pemilih usia kurang dari 17 tahun sebanyak 20.475 orang pun dianggap tak jelas. Sebab, pemohon tidak menyebutkan siapa mereka, apakah mereka menggunakan hak pilihnya atau tidak, di TPS mana mereka menggunakan hak pilihnya, dan kepada siapa mereka menentukan pilihannya.
Begitupun, tudingan mengenai pemilih berusia lebih dari 90 tahun, banyaknya pemilih dalam satu Kartu Keluarga (KK), DPT invalid dan DPT ganda, Situng, hingga tudingan penghilangan C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, seluruhnya dinilai tidak jelas.

Berikut Argumentasi dari pihak Termohon, yaitu TKN (Tim Kampanye Nasional) Paslon nomor 1 (Jokowi-Ma’ruf).
            Ketua tim kuasa hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra, menolak seluruh dalil yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dalam sidang sebelumnya dan meminta Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang disampaikan. Ia mengatakan "Berdasarkan seluruh uraian, pihak terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan menerima eksepsi untuk pihak terkait seluruhnya, menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa permohonan pemohon atau setidaknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.”
            Yusril menilai narasi kecurangan yang diulang-terus menerus oleh BPN Prabowo-Sandi tanpa bukti-bukti yang sah menurut hukum, klaim kemenangan tanpa dasar angka yang valid, upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada lembaga-lembaga penyelenggara pemilihan umum dan lembaga peradilan, hendaknya tidak dijadikan dasar untuk membangun kehidupan politik yang pesimistis dan penuh curiga.
Berdasarkan Pasal 475 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kata Yusril, pada pokoknya mengatur permohonan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilihan Presiden hanya pada hasil penghitungan suara, yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali. Menurut Yusril, adanya kata “hanya,” demi hukum membatasi cakupan substansi hal yang dapat dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi, yakni terbatas hanya pada hasil perolehan suara. Hal ini sejalan dengan pasal 75 huruf a Undang-undang mahkamah Konstitusi yang menyatakan dalam pemohon wajib menguraikan dengan jelas kesalahan hasil suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.Yusril mengatakan dalam permohonannya BPN tidak menerangkan tentang perselisihan hasil perolehan suara sebagai objek perkara, yang seharusnya menjadi syarat formil permohonan. Hal ini terbukti dalam permohonan pemohon (BPN) yang sama sekali tidak mendalilkan adanya perselisihan hasil perolehan suara dari pihak terkait, termasuk argumentasi pemohon yang memuat kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon (KPU) maupun hasil suara yang benar menurut pemohon.

Pendekatan Penalaran dan Argumentasi Hukum atas kasus tersebut
Pendekatan penalaran menggunakan mazhab Penemuan Hukum, bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkret yang harus dipecahkan undang-undang bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkret, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelarasan suatu pedoman dalam penemuan hukum. Dan Pendekatan yang tepat ialah menggunakan paradigma pemilu yang jujur dan adil. Dalam hal ini, MK harus berani membuat kriteria pemilu yang dianggap inkonstitusional, agar nantinya yang diputuskan bisa diterima akal sehat, rasio dan emosi karena paradigma ini belum pernah dipakai oleh Mahkamah Konstitusi. Paradigma jujur yang adil seperti ini, proses penyelenggaraan pemilu itu harus lah konstitusional seperti yang tercantum pada pasal 22 e yakni langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
Selama persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK berlangsung, ahli dan saksi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak mampu membuktikan tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019. Mereka juga tidak bisa menjelaskan kepada hakim MK berapa total suara yang dicurangi kubu 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Menjadi Hakim MK dalam mengambil putusan tidak bisa menggunakan asumsi pribadi dengan mendengarkan keterangan saksi. Harus ada bukti otentik dari para saksi yang mendukung dalil-dalil dalam gugatan. Semuanya juga harus melihat dari tupoksi hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri tugas Mahkamah Konstitusi yaitu "Hakim itu harus betul-betul melihat semua hal yang dibuktikan oleh pemohon dan kemudian diperiksa silang oleh termohon dan juga pihak terkait. Dan harus membuktikan bahwa itu semua fakta sehingga keputusan bisa diambil.”
Gugatan yang dilontarkan BPN bahwa kecurangan hasil pemilu presiden rawan kandas, jika selisih perolehan suara antarkandidat terlampau jauh, kalau selisihnya besar, sulit dibuktikan.Sebab itu, Mahkamah Konstitusi membuat standar, akan memeriksa sengketa pemilu jika perbedaannya sekian persen. Kalau jauh sekali, tidak diperiksa Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus-kasus sengketa yang selisih perolehan suara antarkandidat terpaut jauh, kandidat yang merasa dicurangi biasanya sulit mencari bukti. Lantas, kalaupun terbukti ada bukti kecurangan, raihan suara yang didapat dari pembuktian sulit menutup perolehan suara yang diperoleh pihak lawan.
Sebelumnya, hasil rekapitulasi nasional pemilihan presiden menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50% dari total suara sah nasional. Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 68.650.239 suara atau 44,50%. Itu artinya ada selisih 16,9 juta suara.
Dasar gugatan lain yang kemungkinan diajukan, adalah terjadinya dugaan "kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)" dalam pemungutan suara. Untuk tuduhan "terstruktur" Mahkamah Konstitusi menurutnya, memiliki standar tertentu. Berarti kalau terstruktur artinya ada suatu maksud yang intens. Bahwa itu akan dilakukan sesuatu yang diinstruksikan dari atas ke bawah. Ada komando dari atas dan di bawah melaksanakan. Artinya organisasi-organisasi yang ada pada sistem pemerintahan. Sementara "masif", Mahkamah Konstitusi memandangnya terjadi secara sporadis di banyak tempat dan sudah direncanakan dengan matang. Pembuktian terhadap sangkaan itu, tidak bisa hanya bersandar pada laporan media massa. Pihak penggugat setidaknya harus mengantongi bukti valid dan telah dikonfirmasi kebenarannya. Bisa berupa saksi, dokumen, atau rekaman di media sosial. Dan apapun buktinya harus bukti riil dan terkonfirmasi. Maupun dokumen, rekaman asal terklarifikasi secara betul serta jika ada laporan media massa harus sudah dibuktikan, dikuatkan dengan saksi yang mengatakan bahwa apa yang disampaikan media massa itu benar.


Comments

Popular Posts