BEBERAPA TOKOH DAN PEMKIRANNYA DALAM ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Aliran Sosiological
Jurisprudence memiliki beberapa tokoh yang banyak
menyumbangkan pemikiran tentang ilmu hukum sosiologis, yaitu :
1.
Eugen Ehrlich
Eugen Ehrlich adalah seorang ahli
hukum yang lahir di Czernowitz sekarang dikenal dengan Chernivtsi Ukraina pada
1862. Daerah Czernowitz dahulu dikenal
sebagai bagian dari provinsi Bukovina,kerajaan Austo-Hungarian. Oleh
sebab itu dia dapat dikatakan sebagai seorang berkebangsaan Austria.[1]
Masa kecilnya turut memberikan
pengalaman yang khas dalam pemikiran hukumnya. Budaya hukum Bukovina diwarnai
oleh hukum Austria dan kebiasaan setempat, telah meninggalkan sebuah gugatan
pemikiran terhadap Hans Kelsen yang mengenalkan adanya hirarki norma hukum pada
1922.[2] Studi Eugen
Ehrlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri yang berbeda. Tidak seperti
studi Max Weber, ia bermaksud untuk membuktikan teori bahwa : titik berat
perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak
dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum,
tetapi dalam masyarakat itu sendiri.[3]
Menurut Erlich dalam bukunya
yang berjudul “grundlegung der sociological
rechts” (1913), mengatakan bahwa masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga,
desa, lembaga-lembaga sosial,
negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan
sebagainya. Erlich memandang
semua hukum sebagai
hukum sosial, tetapi dalam arti
bahwa semua hubungan hukum ditandai
oleh faktor-faktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis yang digunakan dalam produksi, distribusi
dan konsumsi bersifat menentukan
bagi pembentukan hukum.[4]
Erlich tidak sependapat dengan
mereka yang menganggap negara sebagai alat kekuasaan
yang harus dihapus atau ditiadakan. Menurut Erlich, fungsi negara yang semula ialah menjadi alat yang wajar untuk menguasai
hubungan social masyarakat melalui paksaan, lama kelamaan
negara menjadi berwibawa
juga dalam bidang-bidang lain, seperti dalam bidang
pembentukan Undang-Undang dan pengadilan. Sebab hubungan-hubungan
sosial hubungan social yang bermacam-macam bidang tersebut satu sama lain hidup saling
terjalin.
Bukti adanya pengakuan atas fungsi negara
dalam menetapkan dan/atau mengesahkan aturan
hukum, dapat dilihat
dari pembagian norma-norma hukum yang diajukan Erlich,
yaitu rechtsnormen sebagai
aturan-aturan/norma-norma hukum yang hidup dan lahir dari kenyataan sosial
masyarakat, dan entscheidungnormen sebagai norma-norma keputusan yang tidak termasuk
hukum yang hidup. Peraturan-peraturan
tersebut katanya berasal
dari karya-karya ilmiah
para hakim, sarjana,
anggota MPR, pegawai negara dan sebagainya. Ia mengatakan baik norma-norma hukum maupun
norma-norma keputusan dapat menjadi peraturan-peraturan hukum atas penetapan
atau pengesahan dari suatu instansi yang bernama negara.
2.
Satjipto Rahardjo
Menurut Satjipto
Rahardjo, sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap
pola prilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.[5] Sosiologi Hukum berusaha
untuk memberikan deskripsi terhadap praktik hukum dan
dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, pendekatan sosiologi hukum berusaha
untuk menghubungkan hukum
dan sistem hukum dengan keadaan masyarakatnya.[6]
Secara teoritis, kajian sosiologi
hukum adalah ilmu empiris, yang melihat pengalaman-pengalaman nyata dari
orang-orang yang terlihat ke dalam dunia hukum, baik sebagai pengambil
keputusan, sebagai praktisi hukum, maupun sebagai warga biasa. Sosiologi hukum adalah
ilmu deskriptif, eksplanatoris dan membuat prediksi-prediksi.[7]
Dalam tulisannya di Konferensi Negara Hukum (2012) menyatakan, bahwa membangun negara hukum itu bukanlah
sekedar menancapkan papan nama. Ia adalah proyek raksasa yang menguras tenaga. Dalam satu dasawarsa terakhir, Indonesia
telah banyak melakukan upaya perubahan untuk mewujudkan negara hukumnya.
Amandemen konstitusi, pembuatan sejumlah peraturan perundang-undangan, pembentukan lembaga-lembaga negara baru, pembenahan institusi
dan aparat penegak hukum
telah dilakukan. Namun, keberhasilan membangun
negara hukum tidak semata-mata
diukur dari kemampuan memproduksi legislasi dan menciptakan atau merevitalisasi institusi hukum. Lebih dari itu, keberhasilan bernegara hukum terukur dari implementasi dan penegakan
hukum yang mampu menciptakan keadilan bagi seluruh
rakyat terutama kelompok miskin,
perempuan, masyarakat adat dan
kelompok minoritas.
[1]Antonius
Cahyadi dan E. Fernando M.Manulang, Pengantar
ke Filsafat Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm. 105
[2] Antonius
Cahyadi dan E. Fernando M.Manulang, Pengantar
ke Filsafat Hukum, (Jakarta:Kencana,2008), hlm. 105
[3]
W. Friedmann, Teori
dan Filsafat hukum; Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, jilid II
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 104
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,
(Yogyakarta : Penerbit Kanisuius, 2001), hlm. 213.
[5] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:
Alumni, 1982), hlm. 45.
[6] Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif,
(Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 4
[7] Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif,
(Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 13-14.
Comments
Post a Comment