ANALISIS PUTUSAN HAKIM No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg DALAM ALIRAN FILSAFAT HUKUM
KASUS:
Terdapat kasus pasangan suami istri yang saat menikah sama-sama beragama
Islam namun dalam perjalanan ternyata Istrinya memeluk agama Hindu. Keduanya
dikarunia 4 orang anak yang bernama Santi (Hindu)—anak pertama, Andi (Islam)—anak kedua, Dani (Hindu)—anak
ketiga, dan Jaya (Islam)—anak keempat. Ibu mereka meninggal dunia karena sakit
parah dan meninggalkan harta warisan.
Berdasarkan rumusan Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
kesepakatan pendapat-pendapat mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan
mazhab Hambali bahwa terdapat halangan mendapatkan warisan dari pewaris atau
ahli waris yang berlainan agama. Maka kasus ini tentu merugikan Andi dan Jaya
karena tidak berhak mendapatkan warisan dari Ibunya. Akhirnya Andi dan Jaya
mengajukan permohonan pembagian waris ke Pengadilan Agama.
Berdasarkan Putusan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Hakim di luar dugaan
memberikan harta warisan kepada Andi dan Jaya yang beragama Islam dari Ibu
mereka yang beragama Hindu. Hakim dalam hal ini dapat dikatakan Hakim berani
sekali karena tidak memakai KHI sebagai pertimbangan hukumnya. Bahkan Hakim
dalam pertimbangannya menyatakan bahwa warisan itu bukan hanya soal perbedaan
agama saja tetapi warisan juga terkait dengan kekerabatan atau kekeluargaan
yang harus dijaga walau berbeda agama.
Berikut analisisnya serta argumentasinya :
Berdasarkan putusan tersebut yakni Putusan
No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Hakim di luar dugaan memberikan harta warisan kepada
Andi dan Jaya (Pemohon I dan Pemohon II) yang beragama Islam dari Alm. Ibu
mereka yang beragama Hindu sebagai Pewaris. Pada dasarnya menurut KHI
(Kompilasi Hukum Islam) Pasal 171 huruf b menyebutkan bahwa “Seorang
pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam” dan putusan itu
bertentangan dengan dalil tersebut.
Namun
sebenarnya dalam sistem pewarisan Islam
menganut sistem kekerabtan, baik secara nasabiyah
maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai
penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah,
lebih banyak mengandung unsur muamalah.
Karena kekerabatan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka
itu berbeda, Islam tidak pernah mengajarkan permusuhan dengan memutuskan
hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih pertalian darah. Namun
harus dicermati, perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris,
bila ahli waris berbeda agama dengan pewaris hal tersebut tidak akan bisa
mendapatkan harta warisan. Yang terakhir
menurut Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa semua peninggalan wanita yang keluar
dari Islam (Murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam. Dalam hukum kewarisan Islam mengandung asas
egaliter , maka kerabat para Pemohon I dan II yang mempunyai agama selain Islam dan
mempunyai hubungan darah dengan pewaris maka tetap berhak mendapat bagian waris
dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengannya.
Dan
dalam hal ini serta mengenai penjelasan yang diatas, aliran filsafat hukum yang
digunakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan kasus tersebut adalah menggunakan Aliran Utilitarianisme, Karena menurut aliran ini tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan
kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat,
serta meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang
sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya
hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia. Seperti
kasus diatas akhir dari putusannya adalah dikabulkan serta saudara yang
mempunyai agama selain Islam akan diberikan hartanya namun tidak sebanyak ahli
waris. Hal tersebut melambangkan bahwa hakim dapat bersikap adil. Jika
menggunakan aliran filsafat Postivisme hukum, putusan tersebut tidak akan dikabulkan
permohonan para pemohon. Hal itu dikarenakan aliran ini mengacu pada aturan
yang berlaku seperti halnya tadi dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam) Pasal 171 huruf b menyebutkan bahwa
“Seorang pewaris pada saat
meninggal dunia harus beragama Islam”.
Comments
Post a Comment