PENALARAN HUKUM
Kerangka berpikir ilmiah mengacu pada tiga tataran teori, yaitu (1) Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, (2) Sociological Jurisprudance, (3) Teori Hukum Pembangunan, disertai alasan alasan tertentu sebagaimana yang dijelaskan dibawah ini, sebagai berikut :
1. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis
Merupakan
dua model penalaran yang sangat erat karena tidak mungkin ada suatu
konstruktivisme tanpa membangun hermeneutika di dalamnya. Model ini memiliki
keistimewaan diantara model penalaran lain karena menjadi “state of art” dalam
teori-teori epistemologis era postmodern dan didesain untuk lebih “akrab”
dengan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
2. Sociological Jurisprudence
Merupakan
model penalaran yang memiliki sifat eklektis yang kuat. Lahir dari sistem
common law, khususnya Amerika Serikat namun dengan kelebihannya yang dapat
menggabungkan logika Positivisme Hukum yang tertutup dan terbukanya Madzhab
Sejarah telah menarik perhatian para penganut civil law. Bagi Indonesia sendiri
yang kaya akan hukum adat, model ini membuka pemahaman yang lebih holistik,
sebagaimana yang dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa hukum adat
sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai
common law. Model ini selain sebagai partisipan sekaligus pengamat ini juga
menjadi alasan lain untuk menempatkan aliran ini sebagai kerangka berpikir
karena menggunakan pola penalaran yang lebih komprehensif dibanding penalaran
klasikal manapun.
3. Teori Hukum
Pembangunan
Merupakan
teori yang lahir atas ketertarikan Mochtar Kusumaatmadja terhadap Sociological
Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism. Sebagai model penalaran hukum, teori
ini menjadi applied theory karena
dirancang guna pembangunan di Indonesia. Konsep berfikir teori ini telah
diterima sebagai konsep pembinaan hukum di Indonesia sejak 1973, maka teori ini
memiliki kedekatan dengan grand theories dan middle-range theory dalam ruang lingkup
sistem civil law, atau terkhusus pada Indonesia.
HUBUNGAN KONSEP HUKUM, TIPE KAJIAN, DAN METODE PENELITIAN
Konsep Hukum
|
Tipe Kajian
|
Metode Penelitian
|
Peneliti
|
Orientasinya
|
Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang
bersifat kodrati dan berlaku universal.
|
Filasafat
Hukum
|
Logika
deduksi, berpangkal pada premis, normatif yang diyakini bersifat “self evident”.
|
Pemikir
|
Filsafat
|
Hukum adalah
norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional
|
Ajaran Hukum Murni yang mengkaji “law as it is written in the books”.
|
Doktrinal, bersaranakan terutama logika
deduksi untuk membangun sistem hukum positif .
|
Para yuris kontinental
|
Positivisme
|
Hukum adalah apa
yang diputuskan oleh hakim in concerto, dan tersistematisasi
sebagai judge-made-law
|
American Sociological Jurisprudence yang
mengkaji “law as it is decided by
judges through judicial process”
|
Doktrinal seperti diatas, tapi juga non
doktrinal bersaranakan logika induksi untuk mengkaji court behaviours .
|
American Lawyers
|
Behavioral, Sosiopsi-logik
|
Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang
terlembagakan, eksis sbagai variabel sosial yang empirik
|
Sosiologi
Hukum, mengkaji “law as it is in
society”.
|
Sosial/nondoktrinal, dengan pendekatan
struktural/makro dan umumnya terkuantifikasi (kuantitatif).
|
Sosiolog
|
Struktural
|
Hukum adalah
manifestasi makna-makna simbolis para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam
interaksi di antara mereka.
|
Sosiologi dan/atau Antropologi Hukum,
mengkaji “law at it is in (human)
actions”.
|
Sosial/nondoktrinal, dengan pendekatan
interaksional/mikro, dengan analisis-analisis yang kualitatif.
|
Sosiolog, antropolog, pengkaji humaniora
|
Simbolik Interaksional
|
ASPEK
ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS
Aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis merupakan sebuah kerangka diskusi untuk menelaah model-model penalaran maupun untuk penalaran hukum itu sendiri, berikut penjelasannya :
1. Ontologis
Aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis merupakan sebuah kerangka diskusi untuk menelaah model-model penalaran maupun untuk penalaran hukum itu sendiri, berikut penjelasannya :
1. Ontologis
Mengenai persoalan hakikat dari realitas, yang
menandai kelahiran pertama filsafat, diawali dengan proyek kontemplatif Thales
(624-546 SM) tentang hakikat alam semesta.
Terdapat tiga pendekatan dalam menjawab persoalan mengenai hakikat dari realitas, yaitu:
Terdapat tiga pendekatan dalam menjawab persoalan mengenai hakikat dari realitas, yaitu:
a.
Pendekatan
realitas sebagai materi
Materialisme berpendapat bahwa
hakikat dari segala sesuatu adalah materi. Pandangan ini ditarik dari pemikiran
atomisme dari Demokritos (460-370 SM). Menurut teori ini, atom adalah wujud
terkecil, apa yang bersifat materi hanya mungkin muncul dari yang materi juga.
Atom tersebut terus bergerak, bertabrakan dan menciptakan sistem gerakan
tertentu, yang dikenal sebagai hukum alam (law of nature).
Dalam Filsafat Timur, materialisme telah
menjadi dasar falsafah yang cukup berpengaruh, seperti Charvakah di India pada
Abad ke-7 SM. Lalu materialisme terus berkembang dalam berbagai versi, seperti
materialisme-rasionalistis, materialisme-parsial, materialisme-dialektis, dan
materialisme-historis.
b.
Pendekatan
realitas sebagai ide (gagasan)
Merupakan pandangan yang bertolak
belakang dengan pandangan materialisme. Idealisme mengartikan bahwa hakikat
dari sesuatu adalah dunia rohani (dunia ide, bukan materi). Di satu sisi,
Nicholas Rescher membagi ide dalam dua kelompok, yakni, causal idealism dan
supervenience idealism. Causal idealism berpendapat bahwa segala sesuatu lahir
dari aktivitas mental yang tunduk pada hukum kausalitas. Sedangkan, supervenience idealism berpendapat
bahwa aktivitas mental tidak tunduk pada hukum kausalitas tapi pada
ketergantungan eksistensial yang lain. Di luar pembedaan ini, terdapat
idealisme-absolut, idealisme-subjektif, idealisme-objektif,
idealisme-transendental, idealisme-epistemologi, idealisme-personal, idealisme-etis,
dan sebagainya. Jerman merupakan negara yang banyak memproduksi
pemikir-pemmikir Idealisme, sehingga dikenal adanya Idealisme Jerman.
Plato
(427-347 SM) adalah filsuf yang berjasa dalam menjelaskan secara sederhana
konsep Idealisme. Ia menjelaskan, bahwa materi bisa saja berubah namun ide
tentang materi tersebut tidak dapat berubah ataupun hilang. Contoh, kuda banyak
jenis, warna, bentuk dan beratnya, dapat pula menjadi tua dan mati. Namun,
apabila materi mengenai kuda ini telah tiada, ide tentang kuda tetap ada.
c.
Pendekatan
realitas oleh aliran Dualisme yang melihat keduanya, materi dan ide
Kendati Plato menjelaskan
pemikirannya mengenai ide ssesuatu, namun dia lebih dipandang sebagai pengemuka
teori Dualisme, karena ia tak hanya memandang dunia ide tapi juga memandang
dunia materi.
Istilah “Dualisme” diperkenalkan
pertama kali oleh Thomas Hyde (tahun 1700). Aliran ini berpendapat bahwa
hakikat segala sesuatu terdiri atas dua sumber sekaligus, yakni materi dan
rohani (ide). Aristoteles (384-322 SM) menyebutnya sebagai wujud “materi” dan
“forma”. Descartes (1596-1650) menyebutnya sebagai “ruang” atau “materi
keleluasan” (rex extensa) dan kesadaran (rex cogitans). Teori ini pun dapat
dijelaskan dengan melihat contoh langsung pada diri manusia. Namun, kelemahan
teori ini ialah sukar ditentukan bagaimana dan siapa yang membuat kesesuaian
antara materi dan ide.
Pada dasarnya, ontologis pada
hukum pun belum dapat dikategorikan apakah masuk dalam lapangan materi, ide,
ataupun keduanya. Seorang filsuf Yunani, Cicero (106-43 SM): ubi societas ibi
ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum). Menurut pemahaman Cicero,
hukum adalah hal-hal yang melekat pada masyarakat, pun hukum melekat pada
apa-apa yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa hukum
tidak hanya produk politik, namun juga sebagai produk kebudayaan manusia.
Menurut C.A. van Peursen,
kebudayaan adalah endapan dari kegiatan manusia secara individual manupun
berkelompok. Mennurut Selo Soemardjan, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan
karya manusia yang dimanfaatkan menurut karsanya. Cipta ialah kemampuan
berfikir dan menciptakan hal-hal yang abstrak, seperti ide, gagasan. Adapun
rasa meliputi dua bidang, yaitu rasa yang bersumber pada pancaindera, dan; rasa
kejiwaan guna membedakan yang baik dan yang buruk. Ia pun membagi kebudayaan dalam tiga bentuk,
yakni:
a.
Kompleks
ide-ide.
b.
Kompleks
aktivitas manusia
c.
Hasil-hasil
karya manusia.
Ketiga hal di atas diamini pula oleh Clifford
Geertz dalam teorinya tentang kebudayaan. Dan sama halnya seperti kebudayaan,
hukum pun dapat masuk dalam kriteria ketiga bentuk di atas.
2. Epistemologis
Empirisme berasal dari kata empirik, yang
artinya pengalaman (empeiria). Empirisme adalah aliran dasar dalam epistemologi
yang menganggap pengalaman observasi inderawi sebagai sumber pengetahuan
manusia. Hal ini ada dikarenakan, panca indera dianggap tidak akan berbohong.
Tokoh utama teori ini adalah John Locke (1632-1704), dengan teorinya yaitu
teori Tabula Rasa (meja lilin), ia pun dikenal sebagai Bapak Empirisme. Lalu
dikenal juga Francois Bacon (1561-1626), Berkeley (1685-1753), dan David Hume
(1711-1776).
Russels dan E. Mach beranggapan bahwa segala
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia, namun menurut Russels pengalaman
tersebut perlu dianalisis, karena pengetahuan selalu berkaitan dengan nalar
manusia. Berbeda lagi menurut aliran Rasionalisme, yang berpendapat bahwa
sumber segala pengetahuan adalah akal budi manusia, tugas dari panca indera
adalah sebagai perangsang saja. Immanuel Kant mengambil jalur tengah dalam
perdebatan ini dengan mengemukakan bahwa ilmu membutuhkan baik kerangka yang ditangkap
oleh pancaindera dan akal budi sebagai pengolah data.
3. Aksiologis
Tindakan manusia merupakan fungsi dari
kepentingannya. Pada aspek aksiologis, dibagi menjadi tiga kategori pemikiran, yaitu:
a. Idealisme-etis,
adalah aspek aksiologis yang menganggap bahwa ukuran baik-baik sesuatu ditentukan
oleh nilai-nilai- spiritual.
b. Deontologisme-etis,
kata deontologi diambil dari kata deon (bahasa Yunani) yang artinya apa yang
harus dilakukan (kewajiban). Deontologisme dalam hal ini menilai baik buruk
suatu tindakan dari tindakan tersebut sendiri (missal, melihat pada hukum
positif), bukan melihat pada aspek akibat dari tindakan tersebut.
c. Teleologisme-etis
atau yang disebut juga sebagai eudemonisme, adalah pandangan aspek aksiologis
yang mengukur baik-buruk sesuatu dari hasilnya. Eudemonisme ini melihat bahwa
segala tindakan manusia pasti meiliki tujuan tertentu, baik untuk diri sendiri
(egoism), maupun untuk masyarakat di sekitarnya (utilitarianisme).
Comments
Post a Comment